Rabu, 08 Desember 2010

khutbah jumat (3 tingkatan dalam berpuasa)

Imam Ghazali membagi puasa dalam 3 tingkatan.
Pertama, puasa tingkat umum, yakni menahan mulut dari berbagi makanan dan minuman serta menahan farji (kemaluan) dari berhubungan suami istri (jima’).

Kedua, puasa tingkat khusus, yakni menahan anggota tubuh dari segala macam maksiat. Kaki hendaknya tidak berjalan ke tempat maksiat, tangan dijaga agar tidak berbuat maksiat, menjaga mulut agar tidak mengucapkan kata-kata yang dilarang ALLOH SWT, baik dalam bentuk mengumpat, berbohong, menggunjing, dan lainnya.

Juga menjaga telinga dari mendengarkan hal-hal yang terlarang. Sama halnya menjaga mata dari melihat hal-hal yang tidak baik.
Ketiga, puasa tingkat tertinggi yaitu menjaga hati dan berpikir selain ALLOH SWT dan hari akhir, menghindari hal-hal rendah di mata ALLOH SWT, termasuk tentang urusan dunia, kecuali yang berhubungan dengan akhirat.
Pada puasa tingkat tertinggi ini tidak hanya mulut dari berbagi makanan dan minuman serta menahan farji (kemaluan) dari berhubungan suami istri (jima’), serta anggota badan dari perbuatan maksiat, tapi juga menjaga hati dan pikiran.
Orang yg berpuasa pada tingkat pertama hanya akan merasakan lapar dan haus. Tidak ada hal lain yg dia dapat. Orang tipe ini hanya akan menggugurkan kewajiban atau dosa akibat meninggalkan puasa.
Marilah kita berusaha sekuat tenaga untuk melakukan puasa tingkat ketiga, walau seberat apapun. Karena itulah kualitas puasa sesungguhnya, agar kita bisa mencapai tingkat orang-orang yang bertakwa.

khutbah jumat (Agar anak menjadi anak saleh)

Setiap orang tua mengharapkan anak-anaknya menjadi anak yg saleh. Untuk itu, mesti diperhatikan 2 kunci berikut, pertama, bermula dari diri sendiri sebagai orang tua. Sebagai orang tua, kita harus menunjukkan contoh yg baik sehingga bisa menjadi suri tauladan bagi anak-anak kita.
Kedua, pendidikan dimulai sejak anak masih berada dalam kandungan ibunya. Nabi Muhammad SAW senantiasa mengajarkan agar kita selalu meminta perlindungan kepada ALLOH SWT apabila menggauli istri (berhubungan suami istri), jika tidak, maka setan akan mendahului untuk mencampakkan benihnya dalam rahim isteri kita. Tidak heran jika anak-anak yg dilahirkan adalah anak-anak yg kasar tabiatnya.
Saat istri mengandung, pendidikan sudah bisa dilakukan. “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (As Sajdah(32):9)
Dari ayat di atas, terlihat bahwa ALLOH SWT menganugerahkan pendengaran pertama kali pada calon manusia tersebut. Disusul dengan penglihatan dan akal pikiran. Maka perdengarkanlah suara-suara yg membuat mereka tenang, terutama ayat-ayat Al Qur’an. Jangan perdengarkan kepada mereka kata2 kotor dan kata2 sesat yg akan membuat mereka menjadi pribadi2 berkepribadian kasar.
Anak-anak bisa diumpamakan seperti kain putih, dan orang tua adalah pihak yg mewarnainya. Sabda Rasululloh SAW,“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, suci bersih. Maka orang tuanyalah yg menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi” (HR Imam Hakim)
Untuk itu, sebagai orang tua mestilah mendidik anak2 mereka dengan pendidikan yg Islami, jangan campurkan/ajarkan pendidikan Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi.
Beberapa hal yg mesti diajarkan kepada anak adalah bisa membaca dan memahami Al Qur’an dengan baik. Jangan biarkan anak-anak tidak bisa membaca Al Qur’an dan tidak mengetahui tanggung jawabnya sebagai orang Islam (muslim). Apabila seorang anak tidak bisa membaca, apalagi memahami Al Qur’an, maka dipastikan orang tua tersebut telah gagal melaksanakan tugasnya, terutama dalam membentuk anak saleh.

khutbah jumat (Marah)

Masyarakat Indonesia sedang dilanda ‘virus’ kemarahan. Di banyak tempat, banyak orang yg mudah marah. Di rumah, jalanan, lapangan sepakbola, bahkan di tempat ibadah. Akibatnya kita seperti berada di sebuah negeri yg tidak mempunyai sopan santun pergaulan. Pers dan media juga lebih suka untuk menayangkan dan memberitakan kemarahan daripada meredamnya.
Celakanya, para ulama dan kaum cendekia juga tertular virus ini.
Banyak khotbah, ceramah, dan bahkan makalah yg membahas tentang kemarahan, nada geram, dan muka yg merah padam menahan kemurkaan. Hal ini menimbulkan bahwa khotbah dan makalah yg tidak disertai dg kemarahan bukanlah khotbah dan makalah yg sejati.
Khutbah Jum’at seringkali dijadikan ajang sang ustad untuk menunjukkan kebencian yg luar biasa, menghujat pihak2 tertentu yg tidak sealiran atau sepaham dengannya. Sifat takabur dan merasa lebih pintar akan terasa begitu dominan, sehingga melunturkan semangat dan ruh menasihati dan kebersamaan dalam beragama.
Kegeraman dan kemarahan para ulama dan ustad tidak sedikit yg dipicu dari selebaran2 yg mengajarkan kemarahan dan kegeraman dg dalih “amar ma’ruf dan nahi munkar”. Celakanya, banyak kaum bawah yg tertarik dan menelan mentah-mentah ucapan2 sang khotib/ulama ini. Layaknya aliran bensin yg dilempar korek api, maka masyarakat semakin mudah disulut kemarahannya dengan hal2 yg sifatnya sepele.
Terkadang dalih tekanan ekonomi, ketimpangan sosial dijadikan alasan dan pembenaran untuk perilaku mereka. Namun, semestinya mereka ingat, mereka menganut Islam, agama yg menyebarkan perdamaian dan ketenangan, seperti yg diperlihatkan Rasululloh SAW.
Rasululloh SAW sendiri:
  • Mempunyai budi pekerti yg agung,“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Al Qalam(68):4)
  • Lemah lembut, tidak kasar dan tidak kaku sebagaimana ayat berikut,“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali ‘Imran(3):159)
  • Suri tauladan yg baik,“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al Ahzab(33):21)
  • Tidak pernah mengumpat
  • Menjauhi caci maki
  • Tidak menegur dengan cara yg menyakitkan hati
Semoga bangsa ini, termasuk para ulama, bisa meneladani perilaku Rasululloh SAW ini.